Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

LUKISAN


Waktu itu hari sudah mulai sore, tetapi matahari masih nampak terik. Belitong, pulau yang kaya akan hasil tambang dan kaya akan hasil laut ini sungguh indah. Setiap hari aku disuguhi keindahan panorama pantai yang elok. Pulau kecil ini adalah pulau yang selama ini telah memberikan tempat hidup untukku, meskipun aku harus mengarungi laut demi sesuap nasi kehidupan. Hamparan laut luas kebiru-biruan menemaniku melepas lelah. Seteguk demi seteguk kehidupan kulalui sendiri dengan penuh ambisi. Ku nikmati hidup ini tanpa sedikitpun ada penyesalan yang terbesit di benakku. Tak terasa dua windu sudah aku bernafas dengan sisa-sisa tenaga yang ku punya. Tanpa mengharap belas kasihan dari siapapun. Sejak aku belum bisa membaca, Ayah dan Ibuku telah mendahuluiku ke surga. Semua itu menyisakan kepedihan yang teramat mendalam di hatiku. Tapi aku tetap bangkit karena aku yakin hidupku masih panjang.
“Hai, kau Raka, kenapa kau melamun saja? Tolong, bantu aku. Aku menemukan seorang gadis tergeletak tak sadarkan diri di dekat perahuku,” teriak Ismun, sahabatku.
Tanpa berpikir panjang aku segera melompat dari tempat dudukku untuk menolong Ismun yang kelihatan bersusah payah mengangkat gadis itu. Gadis itu berkulit putih, berambut panjang dan berwarna hitam terurai. Garis-garis wajahnya menyiratkan adanya tekanan batin yang menimpa hidupnya. Aku iba.
“Gadis ini masih hidup. Lebih baik kita bawa ke rumahmu saja. Biarkan ia sadar diri dulu,” kata Ismun.
Dengan susah payah kami membawa gadis ini ke rumahku. Walaupun tubuh gadis ini tak begitu besar, tetapi nampaknya susah juga untuk mengangkatnya. Setelah sampai di rumah, gadis ini kami baringkan di bangku kayu yang tak nyaman untuk tidur karena begitu keras untuk tidur. Hanya sebuah bantal kumal yang terdapat di atasnya. Gadis ini kami letakkan dengan hati-hati.
“Ka, ku tinggal ya, aku masih ada perlu sama Bang Imron. Jangan kau macam-macam melihat gadis bening macam ini,” Ismun tertawa keras sambil berlalu. Aku pun hanya membalasnya dengan senyuman.
Ku amati wajah gadis ini. Dari perkiraanku, gadis ini masih berumur 20 tahunan. Selisih dua tahun lebih muda dariku. Bulu mata gadis ini lentik, sayang aku tak dapat menatap matanya karena matanya masih terpejam. Hidungnya yang panjang, bibirnya yang mungil, kulitnya yang halus dan putih. Ah.. begitu indah.
Parasnya begitu cantik membuatku serasa berhadapan dengan bidadari surga. Ku merasakan getar-getar asmara saat ku memandangi wajahnya. Dari baju yang ia kenakan : baju putih berbahan katun bermotif bunga edelweis dan celana jeans merk Lea sudah bisa ku pastikan ia adalah anak konglomerat. Entah anak juragan ayam, entah pengusaha restoran, entah anak jenderal, ataukah mungkin anak salah satu pejabat tinggi di negeri ini.
Sesaat kemudian gadis ini sadarkan diri. Matanya membuka dan ia terlihat kebingungan. Ia pun memandang sekeliling pondok kecilku.
“A..a..ku dimana? Kamu siapa?,” gadis ini nampak ketakutan. Ia memandangku dengan sorot mata tajam. Seakan-akan aku seorang lelaki yang jahat yang berniat akan menerkamnya.
“Tenang, Nona. Aku tak kan menyakitimu atau bahkan macam-macam denganmu. Tadi kau pingsan di dekat perahu temanku. Dan aku bersama temanku pun membawamu ke pondok kecilku ini. Janganlah kau takut kepadaku,” jelasku.
“Jadi kau telah menyelamatkan aku? Terima kasih. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku berhutang budi padamu. Dan aku pun akan membalasnya. Apa yang kau minta untuk membalas jasamu itu?,” gadis ini menangis.
“Sudahlah, Nona, tidak apa-apa. Jangan kau berpikir macam-macam. Aku ikhlas menolongmu. Minumlah air putih hangat ini untuk menyegarkan badanmu,” pintaku.
Gadis ini tampak pucat. Ia meminum air putih dengan pelan-pelan. Setelah itu, aku menyuruhnya untuk tak terlalu banyak gerak dulu karena ia baru saja sadarkan diri. Ia pun bersandar di atas bangku dengan bantal sambil memandang hamparan laut lepas. Kebetulan bangku tempatku tidur ku letakkan tepat di titik pandangku ke laut. Agar aku bisa memandang laut kapanpun aku ingin memandangnya waktu beristirahat. Setelah beristirahat sebentar, gadis ini bangkit dari bangku. Ia berjalan menghampiri lukisan-lukisan yang sengaja aku letakkan tak beraturan di pondok kecilku ini.
“Kau yang melukis semua ini? Lukisannya bagus-bagus. Terlihat sangat nyata,” ungkapnya.
Aku tersenyum dan mengangguk pelan pertanda mengiyakan pernyataannya. Gadis itu mengamati lukisanku satu per satu. Ia memandangi lukisanku dengan teliti dan mengamati setiap detail demi detail lukisanku. Jumlah lukisanku kurang lebih 50 buah. Sebagian telah ku jual untuk menyambung hidup.
Darah seniku kudapatkan dari almarhum Ayahku. Karena menurut cerita nenekku, Ayahku dulunya adalah seorang pelukis. Beliau meninggal karena penyakit Ataxia, sejenis kanker yang termasuk penyakit langka dan belum ada obatnya sampai sekarang. Sebulan kemudian Ibuku menyusul beliau karena Ibuku amat terpukul setelah kematian Ayahku. Aku masih lupa-lupa ingat dengan wajah kedua orang tuaku.
Aku melukis sejak aku masih berumur delapan tahun. Akan tetapi, beberapa aku berhenti melukis karena aku selalu teringat Ayahku saat aku sedang melukis dan itu membuat aku bersedih. Kemudian aku memutuskan untuk tidak melukis lagi. Baru kira-kira 2 tahun yang lalu aku mulai melukis lagi dan menjual lukisanku untuk menyambung hidup saat hasil tangkapanku melaut bersama Ismun tak seberapa banyak. Selain menjual lukisan, aku juga sering mengikuti beberapa acara pameran lukisan di kota.
Alam yang mengajariku untuk melihat seluruh keadaan yang ada dari setiap sudut. Aku melihat, merasa, dan berkarya. Alam pun telah mengajari jari-jari tanganku menari di atas kanvas dengan hati. Menemukan setiap bulir kehidupan laut dan sekitarnya. Merasakan energi ombak di laut lepas yang menghantam batu karang. Batu karang itu adalah aku. Karena aku telah mampu tegar bertahan menghadapi semua ini. Aku kuat.
***
“Ih, apa yang kau lukis ini? Begitu mencolok mata. Lihat mataku serasa terkena debu 1 ton. Ha.. ha.. ha,” gadis itu segera menutup kain putih yang ku gunakan untuk menutup lukisanku yang satu ini. Ia berkata sambil tertawa.
“Hus, jangan kau buka lukisanku yang itu. Tapi, bagus bukan?,” aku menggodanya.
Lukisan itu adalah lukisan seorang wanita dengan setengah busana. Aku sengaja melukisnya karena selama ini aku mendambakan kasih sayang dan kehangatan dari seorang wanita. Aku ini hanyalah seorang pria dewasa biasa yang sudah saatnya untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita, tapi apa daya selama ini tak pernah ada satu pun wanita yang mendekatiku. Mungkin mereka memandang status sosialku sebagai nelayan pesisir dan pelukis amatiran ini begitu rendah.
Kami berdua tertawa dan mulai larut dalam kebahagiaan. Gadis ini terlihat sangat senang. Sesekali ia menatap ombak yang menggulung di lautan.
“Oh ya, sudah lama aku di sini, tapi aku belum tahu namamu. Siapa namamu?”, tanyanya.
“Perkenalkan, saya Raka, Tuan Putri. Ha…ha…ha. Lalu, siapa namamu?,” aku kembali bertanya.
“Ah kau ini, aku Sarah,” ia menjawab sambil tersenyum, senyumnya begitu indah bagai senyum bidadari surga yang langsung menembus sekat-sekat hatiku. Clesss.. sekali bidik langsung terkena.
“Sarah, nama yang bagus. Kalau aku boleh tahu, bagaimana kau berada di sini? Kamu tinggal di mana?,” aku mulai menyelidiki asal-usul gadis ini.
Pandangan gadis ini menerawang ke lautan.
“Sebenarnya rumahku berada di Jakarta. Aku berlibur di sini beberapa hari bersama kedua orang tuaku. Kebetulan Ayahku memiliki villa di sekitar sini. Raka, aku senang berada di sini. Rumahmu begitu nyaman, bebas, dan membawa kedamaian. Tahukah kau, Raka, selama ini inilah yang kucari. Aku mencari kedamaian. Aku terpenjara dalam keterbatasan. Keterbatasan jiwa yang membatasi setiap langkahku. Kedua orang tuaku seakan merenggut kemerdekaanku. Mereka melarang setiap tindakan yang kulakukan. Tak boleh ini, tak boleh itu. Harus begini, harus begitu. Aku tahu mereka menyayangiku, tapi aku ini sudah besar. Aku bosan dengan semua itu. Setiap hari apapun yang aku lakukan harus kulakukan atas izin orang tuaku. Selain itu, dua orang pengawal harus mengikuti setiap langkahku. Aku tersiksa, Raka. Aku ingin kemerdekaanku,” Sarah menumpahkan seluruh muatan lava pijar panas di hatinya yang sudah sekian tahun lamanya ia pendam seorang diri. Tak terasa air mata meleleh di sudut matanya.
“Lalu, sekarang di manakah kedua pengawalmu itu? Mengapa mereka tak menemanimu?,” selidikku.
“Tadi aku pergi tanpa izin dari villa. Aku ingin menghirup udara bebas. Tak tahunya aku malah pingsan dan sekarang aku bisa berada di sini denganmu. Mungkin aku terlalu lelah berlari dari villaku,” Sarah tersenyum manis dan sedikit melupakan kesedihannya.
“Sekarang pulanglah kau, Sarah. Hari sudah mulai gelap sekali. Sebentar lagi maghrib. Pasti saat ini kedua orang tuamu kebingungan mencarimu. Ayo, pulanglah,” aku membujuknya dengan lembut.
Bujukanku pun berhasil dan Sarah pun mau untuk segera pulang ke villanya. Sebelum pulang ia memberikanku alamat villanya. Ia berharap aku dapat mengunjunginya. Aku mengangguk pelan. Dalam hati aku berkata,”Sarah, aku tak berjanji bisa mengunjungimu. Karena aku yakin, sebelum aku menginjak halaman rumahmu pun, aku pasti sudah diusir oleh satpam penjaga rumahmu atau kalau tidak aku pasti dikelar oleh anjing hardermu.” Aku pesimis dapat mengunjunginya.
Setelah Sarah pergi aku masih termenung di atas bangku tempat tidurku dan memandang laut lepas. Aku terbayang wajahnya yang ayu dan senyumnya yang indah. Mungkinkah ini cinta? Ah.. tidak mungkin. Aku baru saja mengenalnya tadi. Tahu namanya pun baru tadi. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tapi ini berbeda, aku terbayang wajahnya selalu. Tidak, aku tak boleh mencintainya. Aku tak pantas untuknya.
***
“Dari mana saja kamu??? Mama dari tadi mencarimu,” Mama Sarah membentak.
“Apa Mama masih peduli sama Sarah? Apa Mama pernah mengerti perasaan Sarah? Sarah butuh kebebasan, Mah. Sarah bosan diperlakukan seperti boneka yang bisa diatur ini-itu,” protes Sarah.
“Oh, sudah berani ya sama orang tua? Kurang apa hidupmu selama ini? Mobil, rumah, liburan, sekolah elite, shopping ke luar negeri. Kamu mau apa lagi??,” Mamanya marah mendengar pernyataan Sarah.
“Sarah udah gede, Mah, bukan anak kecil lagi. Sarah ingin bebas. Selami ini Papa dan Mama selalu melarang Sarah melakukan sesuatu. Sarah selalu dibuntuti pengawal sewaan Papa. Sarah udah bosan, Mah,” Sarah menatap Mamanya dengan marah.
Saat mereka sedang beradu mulut, Papa Sarah pun datang. Papa Sarah adalah seorang boss di sebuah perusahaan terkenal dan terbesar di Jakarta. Perusahaannya telah mempunyai banyak cabang di beberapa kota besar di Indonesia. Akhir tahun ini rencananya beliau akan mendirikan sebuah cabang lagi di sekitar daerah Belitong sini.
“Hei, ada apa ini? Mah, kenapa Sarah menangis?,” tanya Papa Sarah.
“Urusin ni anak kamu. Dasar anak tak tahu terima kasih. Tak pernah menghargai jerih payah orang tua. Kurang apa dia selama ini? Dia baru saja pulang. Nggak tau kelayapan di mana. Mama capek, Pah. Mama sakit hati,” Mama Sarah mengadukan semua.
“Apa benar kata Mama, Sarah? Mengapa kamu seperti itu sekarang? Siapa yang telah meracuni kamu sampai kamu tak mau menurut lagi sama orang tua?,” Papa Sarah mulai naik darah.
Sarah pun tidak mau menjawab. Ia langsung menaiki tangga rumahnya dan masuk ke kamar. Duarrr.. ia membanting pintu kamarnya. Ia menangis tersedu di kamar. Ia menyesal telah membuat orang tuanya marah. Tapi di sisi lain, ia juga ingin menuntut kebebasan dari kedua orang tuanya. Sarah berniat untuk kabur dari rumah, tapi hari sudah gelap. Ia tak berani untuk keluar rumah. Kemudian ia berpikir untuk menunggu keesokan harinya.
***
“Papaaaa!!!! Papa cepat ke sini!!,” Mama Sarah berteriak histeris saat memasuki kamar Sarah, berniat membangunkannya untuk menunaikan shalat shubuh. Beliau tidak menemukan Sarah di kamarnya. Di kolong tempat tidur, di almari, di kamar mandi, semua tempat di kamar itu sudah dicari, tapi Sarah tidak ada ditemukan.
“Ada apa, Mah? Pagi-pagi kok sudah teriak-teriak?,” Papa Sarah terlihat kebingungan.
“Pah, Sarah kabur. Sarah di mana, Pah? Kita harus mencarinya,” Mama Sarah menangis.
“Mama sudah mencari ke mana saja? Mungkin dia sedang berada di taman. Coba kita cari dulu, Mah,” Pak Wijaya, Papa Sarah mencoba menenangkan istrinya yang terlihat sangat terpukul.
Semua pembantu yang berada di rumah itu sudah disuruh untuk mencari tahu keadaan Sarah. Bahkan Satpam yang ada di rumah itu pun tidak melihat Sarah keluar dari rumah. Kemudian orang tua Sarah melapor ke Polisi. Mereka berdua juga sudah mencari berkeliling di seluruh daerah sekeliling villa.
“Pah, Mama takut terjadi apa-apa dengan Sarah. Mama tidak mau kehilangan anak kita satu-satunya, Pah. Mama menyesal dengan semua yang telah kita lakukan kepada Sarah selama ini, Pah,” Mama Sarah menangis tanpa henti. Air mukanya terlihat sembab.
“Sabar, Mah. Kita akan terus mencarinya,” Pak Wijaya pun mencoba untuk menenangkan hati Nyonya Wijaya.
***


Tok tok tok…
“Raka, Raka, buka pintunya. Ini aku, Sarah,” Sarah mengetuk pintu rumah Raka. Sarah menangis. Padahal saat itu masih pagu buta. Kira-kira masih pukul 05.00. Nafas Sarah juga masih ngos-ngosan karena ia telah berlari dengan jarak yang cukup jauh untuk pergi ke rumah Raka.
Raka  terbangun mendengar ketukan pintu tersebut, lalu ia bergegas untuk membuka pintu. Matanya masih sulit untuk terbuka. Ia masih sangat mengantuk karena semalaman ia telah melaut bersama Ismun. Baru sekitar satu jam yang lalu ia pulang.
Mata Raka terbelalak saat ia melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya. “Hei, kau Sarah! Mengapa kau pagi-pagi begini pergi ke tempatku? Kau kabur ya? Masuklah ke rumahku,” aku menyuruhnya masuk karena kaku kasihan meihat ia kelelahan. Peluh nampak membanjiri tubuhnya. Peluhnya terlihat bersinar terkena sinar lampu temaram.
“Aku terpaksa kabur dari rumah, Raka. Aku tak kuat lagi berada rumahku sendiri yang sudah menjadi penjara bagiku. Aku tak peduli lagi dengan resiko yang akan menimpaku,” Sarah terlihat putus asa.
“Sarah, aku tahu kau tak suka diperlakukan seperti itu, tapi lebih baik kamu pulang. pasti saat ini orang tuamu sangat panik mencarimu. Pulanglah kau, Sarah,” aku membujuknya dengan lembut dan hati-hati agar dia tidak tersinggung.
“Aku ingin di sini bersamamu,  Raka. Aku menemukan kebahagiaan di sini, di rumah kecilmu ini. Di sini begitu damai walaupun hidup penuh keterbatasan dan ketidakpastian. Izinkan aku untuk tinggal di sini bersamamu, Raka,” ungkap Sarah.
“Aku tak mungkin mengizinkanmu, Sarah. Karena aku tak ingin dipandang buruk oleh orang di sekitar sini. Lagi pula aku tidak ingin orang tuamu menuduhku telah menculikmu dan membujukmu untuk mengikutiku,” aku memberikan argumen-argumenku.
Sarah masih bersikeras untuk tinggal di sini bersamaku, tapi aku tetap mengelak. Aku tak ingin Sarah membuat orang tuanya cemas. Akhirnya Sarah mengerti dan memintaku untuk mengizinkanku bersamanya untuk hari ini saja  karena keesokan harinya ia akan bertolak menuju di Jakarta. Aku pun menyanggupinya.
Matahari sudah mulai naik. Terlihat bola panas berwarna kuning kemerah-merahan menyembul dari ufuk timur. Saat ini Sarah sudah agak tenang. Ia bersandar di atas bangku panjang di dekat jendela yang langsung menghadap ke laut. Aku memandangi Sarah. Ia terlihat cantik dengan gaun merah muda yang sangat elegan, elegan sekali. Rambutnya yang panjang diikatnya dengan pita merah jambu. Sarah terlihat sangat cantik. Aku semakin terpesona dengan kecantikannya. Sesekali ia melirik ke arahku yang dari tadi memandanginya. Mungkin ia mengetahui aku telah memandanginya dari tadi.
“Sarah, makhluk apa kau ini? Tak terlihat ada sesuatu yang tak sempurna di dirimu. Dari ujung rambut sampai ujung kakimu tak ada sebiji timun pun ketidaksempurnaan. Kau adalah wanita yang ada di bayanganku selama ini. Andai saja aku adalah orang kaya pasti aku akan segera melamarmu dan mengajakmu berlibur setiap minggu ke Hawaii, Disneyland, Hongkong, semua tempat yang kau mau pasti akan kuturuti. Tapi sayang, aku hanyalah seorang nelayan miskin yang tiggal di pesisir pantai. Jangankan rumah, sudah bisa bernafas sampai saat ini pun sudah merupakan kebahagiaan yang tak terkira bagiku,” gumamku dalam hati.
“Sarah, bagaimana jika ku ajak kau pergi ke sebuah tempat yang menjadi tempat favorit bagiku? Di  sana aku merasa sangat damai dan semua beban yang sedang aku derita dengan sendirinya akan terlupakan, dan aku merasa diriku adalah orang yang paling bahagia di dunia. Walaupun dalam kenyataannya aku menderita, amat sangat menderita. Di sana aku akan melukismu, Sarah. Anggaplah ini sebagai kenangan kita. Esok hari kau akan segera pulang ke Jakarta,  bukan?,” ajakku pada Sarah.
“Baiklah. Mungkin di sana aku bisa sedikit merasa tenang. Di mana tempat itu, Raka? Jauhkah dari sini?,” tanya Sarah.
“Tidak jauh. Sekitar satu kilometer dari sini. Dengan berjalan kaki kita bisa sampai tempat itu dengan cukup cepat. Kau tidak keberatan kan kalau harus berjalan kaki?,” tanyaku.
“Tidak apa, Raka. sekarang saja kita pergi ke sana. Aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di tempat itu,” Sarah terlihat tidak sabar.
“Baiklah, Tuan Putri,” celotehku.
Setelah berjalan kira-kira lami belas menit kami pun sampai di tempat favoritku ini. Tempat ini adalah sebuah bukit kecil yang sangat indah. Di sana tedapat banyak bunga. Mulai dari anggrek hutan, mawar liar hingga bunga-bunga liar lainnya. Di tempat ini kita bisa memandangi keindahan panorama pantai pasir putih Belitong yang terlihat bersinar menyilaukan mata diterpa sinar matahari.
“Waw, tempat ini sungguh indah, Raka. Tak sia-sia aku berjalan kaki ke sini,” Sarah terlihat bahagia. Berkali-kali ia tersenyum dengan manisnya sambil sesekali memandang ke arah lautan. Aku membalas senyumannya dengan senyum juga. Aku mulai mencari tempat yang pas untuk melukis Sarah. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan melukis Sarah, bidadari surga yang telah menyasar di hatiku : diam-diam aku mencintainya. Background yang aku ambil ku atur sedemikian rupa agar lukisanku kali ini sempurna.
“Sarah,  duduklah kau di batu itu. Aku akan melukismu. Berikan senyuman tebaikmu,” pintaku pada Sarah dan ia pun menuruti perkataanku.
Aku mulai melukis wajah Sarah. Aku sangat berhati-hati memainkan jari tanganku agar lukisanku terlihat seperti nyata. Wajahnya begitu ayu, garis-garis wajahnya sangat lembut. Perpaduan wajahnya yang ayu dengan gaun merah muda yang ia kenakan menjadikannya terlihat sangat anggun laksana Ratu Sejagad yang sering tampil di tivi-tivi. Setelah sekirannya 1 jam lamanya lukisan itu sudah jadi. Lukisan ini secara tidak langsung sudah menjadi lukisan yang keramat bagiku karena di itulah lukisan gadis yang telah menjadi belahan jiwaku. Sesaat kemudian terdengar teriakan dari bawah bukit. Aku dan Sarah terkejut mendengar teriakan tersebut.
“Hei, Sarah, di mana kamu, Nak? Turunlah atau kami akan menyeret paksa pria biadab yang telah meracuni dirimu itu!,” teriak salah seoprang yang berada di bawah bukit. Sarah mengenali suara itu. Itu adalah suara Papanya. Kemudian kami memandang ke bawah bukit. Betapa kagetnya, ternyata pada saat itu kami sudah dikepung oleh puluhan aparat kepolisian yang lengkap dengan senjatanya. Sarah tidak mengerti bagaimana Papanya dapat mengetahui keberadaannya. Saat itu aku dan Sarah begitu panik.
“Bagaimana ini, Raka? Apa yang harus aku lakukan?,” tanpa sengaja air mata Sarah menetes.
“Turunlah saja, Sarah. Aku yakin pasti orang tuamu sangat mengharapkan kau kembali. Cepat turunlah. Kau tak akan bisa lari kemanapun karena kita telah dikepung,” bujukku.
“Baiklah, aku akan turun. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku, Raka. Aku tak kan melupakanmu,” Sarah menatap mataku  dan kami saling beradu pandang. Hatiku sangat terpukul menyaksikan kepergian Sarah. Pertemuan ini mungkin adalah petemuan terakhirku dengannya. Andai saja kau tahu, aku mencintaimu, Sarah, sangat mencintaimu.
Dan akhirnya Sarah pulang bersama kedua orang tuanya. Aku berani menjamin, pasti di sepanjang jalan kedua orang tua Sarah menyumpah serapahiku. Sedangkan aku masih tetap di sini. Menenangkan pikiranku yang sedang bergejolak. Sekarang hanya tinggal kenanganku  dengan Sarah. Lukisan keramat ini akan terus ku jaga selamanya dan berharap suatu saat Sarah kembali padaku membawakanku mata air cinta dan menjadi hujan di kemarau abadi yang melanda hatiku.
***

Klaten,    November 2010



Hensatiti Niken Pratiwi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar