Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Kyai Ageng Gribig - Juara II Lomba Bercerita tingkat SMA/MA se-Klaten




Kyai Ageng Gribig

Kyai ageng Gribig adalah keturunan kelima dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Ketika masih muda, beliau bernama Syeh Wasibagno Timur. Beliau adalah putera dari Kyai Ageng Gribig. Kyai Ageng Gribig tinggal bersama Ayah dan Ibunya di desa Ngibig. Namun sepeninggal Ayahnya, Syeh Wasibagno Timur tinggal bersama Ibunya di Wanasraya, dekat makam Giri. Tidak lama Ibunya, beliau merasa kalut dan sangat berduka. Beliau pun bertapa di makam Eyang Sinuhun Giri.

Setelah bertapa cukup lama, Syeh Wasibagno Timur mendapat ilham untuk pergi ke hutan Merbabu di lereng Merapi. Beliaupun pergi ke sana dengan ditemani ular betina yang bernama Nyai Kasur dan singa betina yang bernama Nyai Kopek. Sesampainya di sana, beliau berhenti di bawah dua pohon jati. Pohon jati tersebut yang satu masih muda dan yang satu sudah tua. Akhirnya, beliau bertapa di bawah pohon jati tersebut. Pada saat beliau bertapa di sana, terlihat teja terang menjulang ke langit pertanda sang pertapa terkabul permintaannya.

Di kala itu, Sinuhun Sultan Agung, raja di Tanah Jawa yang bersemayam di Mataram sedang berduka sebab mendengar berita bahwa Kerajaan Palembang berniat akan memberontak kepada Mataram. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, Kerajaan Palembang selalu membayar upeti kepada Mataram. Kemudian Sinuhun Sultan Agung menyepi, mensucikan diri, dan bersemedi agar negeri yang dipimpinnya kembali tenteram. Terkabullah permohonannya, beliau mendapat petunjuk untuk pergi ke hutan Merbabu di lereng gunung Merapi. Di situlah beliau bertemu dengan Syeh Wasibagno Timur.

“Hai, Punten, dari manakah asalmu? Dan apa tujuanmu bertapa di bawah pohon jati muda ini?,” sang Prabu bertanya kepada sang pertapa.

Karena tahu bahwa yang dating adalah Raja Tanah Jawa, Syeh Wasibagno Timur turun dari pertapanya dan menyembah kepada sang Prabu sebagai tanda hormatnya.

“Sang Prabu, hamba ini berasal dari Wanasraya. Pada waktu hamba bersemedi di makam Eyang Sinuhun Giri, hamba mendapat petunjuk agar hamba pergi ke kaki gunung Merapi untuk bertapa, maka bertapalah hamba di sini,” jawab Syeh Wasibagno Timur.

“Hai, Punten, siapakah namamu?,” tanya sang Prabu lagi.

Lalu Syeh Wasibagno Timur menjawab,”Hamba ini adalah Syeh Wasibagno Timur.”

Sang Prabu berkata dalam hati,”Mungkinkah orang ini menolong saya?”

“Dapatkah Punten menolong saya untuk memadamkan pemberontakan atas Raja Palembang?,” tanya sang Prabu kepada Syeh Wasibagno Timur.

“Yah! Sanggup, sang Prabu. Apa perintah sang Prabu akan hamba jalankan dengan sekuat tenaga,” sembah Syeh Wasibagno Timur.

Lalu sang Prabu berkata,”Yah kalau dapat berhasil menjalankan apa perintah saya, punten akan mendapat anugerah besar.

“Sang Prabu, hal itu hamba belum dapat menentukan dan juga hamba nanti akan dapat dipadamkan. Dan bila ada hal-hal yang bagaimanapun hamba yang bertanggung jawab seluruhnya,” kata Syeh Wasibagno Timur.

Sang Prabu dan Syeh Wasibagno Timur pergi ke Palembang bersama-sama tanpa ditemanai oleh pengawal. Syeh Wasibagno menyuruh sang Prabu untuk menyamar seperti orang biasa. Di perjalanan, sang Prabu bersabda,”Hal ini terserah padamu dan jangan sampai terjadi pertempuran atau peperangan dan jangan sampai menimbulkan korban. Usahakanlah dengan sebaik-baiknya agar Raja Palembang itu dapat tunduk kembali tanpa peperangan.”

“Mudah-mudahan atas do’a restu Sinuhun,” jawab Syeh Wasibagno.

Akhirnya, di waktu senja merah merona, sang Prabu dan Syeh Wasibagno Timur tiba di Negeri Palembang. Kemudian menjelang sembahyang shubuh, Syeh Wasibagno Timur memulai adzan. Suara adzan yang dikumandangkan oleh Syeh Wasibagno Timur terdengar nyaring dan sangat keras memenuhi ruang angkasa raya. Setiap orang yang mendengarnya terkagum-kagum. Mereka belum pernah mendengar adzan sehebat itu. Begitu juga Raja Palembang. Banyak orang yang datang ke masjid untuk sholat shubuh sambil ingin tahu siapa yang adzan dengan suara sehebat itu.

Raja Palembang memanggil Syeh Wasibagno Timur untuk  menghadap kepada sang Raja. Kemudian Syeh Wasibagno timur pergi menghadap sang Raja. Namun Sinuhun Sultan Agung menunggu di masjid. Sinuhun Sultan Agung hanya berpesan agar Syeh Wasibagno Timur berhati-hati dan waspada.


Sesampainya di kerajaan, sang Prabu Raja Palembang bersabda,”Siapakah sesungguhnya yang adzan menjelang sholat shubuh tadi pagi? Dan darimana asalnya?”

“Dengan terus terang, bahwa hamba ini adalah orang yang adzan tadi pagi dan hamba ini berasal dari Mataram,” jawab Syeh Wasibagno Timur.

Situasi ini dimanfaatkan sang Prabu Palembang yang ingin sekali bertemu dengan orang-orang Mataram asli. Karena pasti dapat memberikan keterangan-keterangan tentang kekuatan Mataram, kesaktian, dan kewibawaan sang Prabu Sultan Agung di  Mataram. Syeh Wasibagno Timur menjawab segala macam pertanyaan dari sang Prabu Palembang. Syeh Wasibagno Timur juga mengatakan jika setiap rakyat Mataram mempunyai kesaktian yang berlebih-lebihan, jarang orang yang bisa mengimbanginya. Lalu, Raja Palembang meminta untuk menguji kenyataannya. Permintaan itu disanggupi oleh Syeh Wasibagno Timur.

Sehabis sholat Jumat, seluruh warga berbondong-bondong ke masjid, tidak ketinggalan sang Raja Palembang. Syeh Wasibagno Timur mengeluarkan mukzizatnya dengan  memiringkan surban yang ada di kepalanya, keadaan orang keluar dari masjid bergoyang-goyang seperti diputar. Jalannya tak tentu arah. Bila surban itu diputar cepat-cepat, maka gerak orang-orang berputar-putar seperti baling-baling.

Melihat kejadian tersebut, sang Raja segera menyuruh Syeh Wasibagno Timur untuk menghentikan perbuatannya, sehingga orang-orang bisa kembali berdiri tegak. Mellihat kenyataan itu, sang Prabu Palembang segera mengurugkan niatnya untuk memberontak terhadap Mataram. Raja Palembang menulis sepucuk surat yang menyatakan bahwa Raja Palembang beserta rakyatnta mengakui maih berada di bawah kekuasaan Palembang. Dan akhirnya, Sinuhun Sultan Agung dan Syeh Wasibagno Timur kembali ke Mataram dengan perasaan lega.

Atas jasa yang besar dari Syeh Wasibagno Timur terhadap Mataram, Sinuhun Sultan Agung menikahkan beliau dengan adiknya, yaitu Raden Ayu Emas. Selain itu, Syeh Wasibagno Timur juga diizinkan untuk membuat desa di tempat yang beliau hunakan untuk bertapa, yaitu di bawah pohon jati yang masih muda. Pergillah Syeh Wasibagno Timur bersama Raden Ayu Emas ke sana. Pohon jati tersebut ditebang dan cukup untuk membuat sebuah rumah dam masjid beserta bedug dan tabuhnya. Desa tersebut diberi nama “Jatinom”, berasal dari kata jati dan enom yang dalam bahasa Indonesia berarti jati muda. Tidak lama kemudian desa itu menjadi ramai, banyak orang yang berdatangan ke sana untuk belajar agama Islam.

Kenangan waktu lomba Bercerita tingkat SMA se-Klaten

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar