Kyai Ageng Gribig
Kyai
ageng Gribig adalah keturunan kelima dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit.
Ketika masih muda, beliau bernama Syeh Wasibagno Timur. Beliau adalah putera
dari Kyai Ageng Gribig. Kyai Ageng Gribig tinggal bersama Ayah dan Ibunya di
desa Ngibig. Namun sepeninggal Ayahnya, Syeh Wasibagno Timur tinggal bersama
Ibunya di Wanasraya, dekat makam Giri. Tidak lama Ibunya, beliau merasa kalut
dan sangat berduka. Beliau pun bertapa di makam Eyang Sinuhun Giri.
Setelah
bertapa cukup lama, Syeh Wasibagno Timur mendapat ilham untuk pergi ke hutan
Merbabu di lereng Merapi. Beliaupun pergi ke sana dengan ditemani ular betina
yang bernama Nyai Kasur dan singa betina yang bernama Nyai Kopek. Sesampainya
di sana, beliau berhenti di bawah dua pohon jati. Pohon jati tersebut yang satu
masih muda dan yang satu sudah tua. Akhirnya, beliau bertapa di bawah pohon
jati tersebut. Pada saat beliau bertapa di sana, terlihat teja terang menjulang
ke langit pertanda sang pertapa terkabul permintaannya.
Di
kala itu, Sinuhun Sultan Agung, raja di Tanah Jawa yang bersemayam di Mataram
sedang berduka sebab mendengar berita bahwa Kerajaan Palembang berniat akan
memberontak kepada Mataram. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, Kerajaan
Palembang selalu membayar upeti kepada Mataram. Kemudian Sinuhun Sultan Agung
menyepi, mensucikan diri, dan bersemedi agar negeri yang dipimpinnya kembali
tenteram. Terkabullah permohonannya, beliau mendapat petunjuk untuk pergi ke
hutan Merbabu di lereng gunung Merapi. Di situlah beliau bertemu dengan Syeh
Wasibagno Timur.
“Hai,
Punten, dari manakah asalmu? Dan apa tujuanmu bertapa di bawah pohon jati muda
ini?,” sang Prabu bertanya kepada sang pertapa.
Karena
tahu bahwa yang dating adalah Raja Tanah Jawa, Syeh Wasibagno Timur turun dari
pertapanya dan menyembah kepada sang Prabu sebagai tanda hormatnya.
“Sang
Prabu, hamba ini berasal dari Wanasraya. Pada waktu hamba bersemedi di makam
Eyang Sinuhun Giri, hamba mendapat petunjuk agar hamba pergi ke kaki gunung
Merapi untuk bertapa, maka bertapalah hamba di sini,” jawab Syeh Wasibagno
Timur.
“Hai,
Punten, siapakah namamu?,” tanya sang Prabu lagi.
Lalu
Syeh Wasibagno Timur menjawab,”Hamba ini adalah Syeh Wasibagno Timur.”
Sang
Prabu berkata dalam hati,”Mungkinkah orang ini menolong saya?”
“Dapatkah
Punten menolong saya untuk memadamkan pemberontakan atas Raja Palembang?,”
tanya sang Prabu kepada Syeh Wasibagno Timur.
“Yah!
Sanggup, sang Prabu. Apa perintah sang Prabu akan hamba jalankan dengan sekuat
tenaga,” sembah Syeh Wasibagno Timur.
Lalu
sang Prabu berkata,”Yah kalau dapat berhasil menjalankan apa perintah saya,
punten akan mendapat anugerah besar.
“Sang
Prabu, hal itu hamba belum dapat menentukan dan juga hamba nanti akan dapat dipadamkan.
Dan bila ada hal-hal yang bagaimanapun hamba yang bertanggung jawab
seluruhnya,” kata Syeh Wasibagno Timur.
Sang
Prabu dan Syeh Wasibagno Timur pergi ke Palembang bersama-sama tanpa ditemanai
oleh pengawal. Syeh Wasibagno menyuruh sang Prabu untuk menyamar seperti orang
biasa. Di perjalanan, sang Prabu bersabda,”Hal ini terserah padamu dan jangan
sampai terjadi pertempuran atau peperangan dan jangan sampai menimbulkan
korban. Usahakanlah dengan sebaik-baiknya agar Raja Palembang itu dapat tunduk
kembali tanpa peperangan.”
“Mudah-mudahan
atas do’a restu Sinuhun,” jawab Syeh Wasibagno.
Akhirnya,
di waktu senja merah merona, sang Prabu dan Syeh Wasibagno Timur tiba di Negeri
Palembang. Kemudian menjelang sembahyang shubuh, Syeh Wasibagno Timur memulai
adzan. Suara adzan yang dikumandangkan oleh Syeh Wasibagno Timur terdengar
nyaring dan sangat keras memenuhi ruang angkasa raya. Setiap orang yang
mendengarnya terkagum-kagum. Mereka belum pernah mendengar adzan sehebat itu.
Begitu juga Raja Palembang. Banyak orang yang datang ke masjid untuk sholat
shubuh sambil ingin tahu siapa yang adzan dengan suara sehebat itu.
Raja
Palembang memanggil Syeh Wasibagno Timur untuk
menghadap kepada sang Raja. Kemudian Syeh Wasibagno timur pergi
menghadap sang Raja. Namun Sinuhun Sultan Agung menunggu di masjid. Sinuhun
Sultan Agung hanya berpesan agar Syeh Wasibagno Timur berhati-hati dan waspada.
Sesampainya
di kerajaan, sang Prabu Raja Palembang bersabda,”Siapakah sesungguhnya yang
adzan menjelang sholat shubuh tadi pagi? Dan darimana asalnya?”
“Dengan
terus terang, bahwa hamba ini adalah orang yang adzan tadi pagi dan hamba ini
berasal dari Mataram,” jawab Syeh Wasibagno Timur.
Situasi
ini dimanfaatkan sang Prabu Palembang yang ingin sekali bertemu dengan
orang-orang Mataram asli. Karena pasti dapat memberikan keterangan-keterangan
tentang kekuatan Mataram, kesaktian, dan kewibawaan sang Prabu Sultan Agung
di Mataram. Syeh Wasibagno Timur menjawab
segala macam pertanyaan dari sang Prabu Palembang. Syeh Wasibagno Timur juga
mengatakan jika setiap rakyat Mataram mempunyai kesaktian yang
berlebih-lebihan, jarang orang yang bisa mengimbanginya. Lalu, Raja Palembang
meminta untuk menguji kenyataannya. Permintaan itu disanggupi oleh Syeh
Wasibagno Timur.
Sehabis
sholat Jumat, seluruh warga berbondong-bondong ke masjid, tidak ketinggalan
sang Raja Palembang. Syeh Wasibagno Timur mengeluarkan mukzizatnya dengan memiringkan surban yang ada di kepalanya,
keadaan orang keluar dari masjid bergoyang-goyang seperti diputar. Jalannya tak
tentu arah. Bila surban itu diputar cepat-cepat, maka gerak orang-orang
berputar-putar seperti baling-baling.
Melihat
kejadian tersebut, sang Raja segera menyuruh Syeh Wasibagno Timur untuk
menghentikan perbuatannya, sehingga orang-orang bisa kembali berdiri tegak.
Mellihat kenyataan itu, sang Prabu Palembang segera mengurugkan niatnya untuk
memberontak terhadap Mataram. Raja Palembang menulis sepucuk surat yang
menyatakan bahwa Raja Palembang beserta rakyatnta mengakui maih berada di bawah
kekuasaan Palembang. Dan akhirnya, Sinuhun Sultan Agung dan Syeh Wasibagno
Timur kembali ke Mataram dengan perasaan lega.
Atas
jasa yang besar dari Syeh Wasibagno Timur terhadap Mataram, Sinuhun Sultan
Agung menikahkan beliau dengan adiknya, yaitu Raden Ayu Emas. Selain itu, Syeh
Wasibagno Timur juga diizinkan untuk membuat desa di tempat yang beliau hunakan
untuk bertapa, yaitu di bawah pohon jati yang masih muda. Pergillah Syeh
Wasibagno Timur bersama Raden Ayu Emas ke sana. Pohon jati tersebut ditebang
dan cukup untuk membuat sebuah rumah dam masjid beserta bedug dan tabuhnya.
Desa tersebut diberi nama “Jatinom”, berasal dari kata jati dan enom yang dalam
bahasa Indonesia berarti jati muda. Tidak lama kemudian desa itu menjadi ramai,
banyak orang yang berdatangan ke sana untuk belajar agama Islam.
Kenangan
waktu lomba Bercerita tingkat SMA se-Klaten
0 komentar:
Posting Komentar